Lebaran. Kata yang dimaknai
beragam oleh setiap orang. Orang yang merasa hidupnya “beruntung” memaknainya sebagai suatu akhir dari perjuangannya dalam
melewati puasa. Menahan rasa lapar, haus
(terkadang juga menahan nafsu), dan kini saatnya menebus jerih payahnya dengan
belanja dan maaf “pamer”. Sedangkan untuk orang yang kurang beruntung, lebaran
hanyalah sebuah nama. Tidak ada yang istimewa bagi mereka. Hanya keramaian
orang-orang yang berpakaian serba baru yang membedakan lebaran dengan hari-hari
biasa.
Kita pasti bisa merasakan
perbedaan makna lebaran itu. Lalu, apa hubungan lebaran dengan fitri. Biasa kita
mendengar ucapan “Mari berlebaran di hari yang fitri”. Rasanya ada yang janggal
dengan kata-kata dalam kalimat itu. Jika kita memaknai berlebaran adalah sebuah akhir perjuangan setelah sebulan lamanya
berpuasa dengan saling bermaafan, maka fitri
sendiri itu apa? Pasti sebagaian besar orang memaknai fitri adalah kembali suci. Lalu apakah dengan berpuasa sebulan penuh
dan saling bermaafan, diri kita sudah bisa disebut kembali suci? Rasanya sangat
aneh. Tapi itulah kenyataannya. Banyak orang merasa dirinya sudah kembali suci
ketika lebaran tiba.
Jika kita mau membaca puisi “Malam Lebaran” karya Sitor Situmorang,
kita akan merasa ada yang aneh. Puisi itu hanya ada satu baris. Yaitu, Bulan di atas kuburan. Ada sebuah
ketimpangan yang ingin ditunjukkan oleh pengarang. Mana ada bulan di malam
lebaran. Malam lebaran adalah malam pergantian bulan. Jadi, jika bulan sudah
muncul pun, tidak mungkin terlihat dengan kasat mata. Keanehan tidak berhenti
di situ saja. Bulan yang semu itu ternyata ada di atas kuburan. Tentu saja kita
tidak boleh memaknainya sebagai kuburan biasa. Kata kuburan harus kita kupas
lagi.
Jika boleh berpendapat, puisi “Malam
Lebaran” karya Sitor Situmorang ini adalah sebuah gambaran tentang ketimpangan.
Menggambarkan sebuah kebahagiaan atau kemenangan semu yang diibaratkan dengan
bulan. Bulan yang semu. Karena pada malam lebaran adalah bulan baru. Baru mengalami
masa peralihan. Pengarang sebenarnya ingin mengingatkan kita. Lebaran bukan
berarti kita kembali fitri atau suci, seperti yang dikatakan oleh ustad-ustad
di televisi. Kita harus mawas diri. Masih banyak sisi gelap dan kosong yang
harus kita terangi dalam diri kita. Seperti kuburan yang sepi, gelap, dan
kosong. Akan tetapi, jangan kita menerangi sisi gelap dan kosong itu dengan
cahaya bulan yang semu. Melainkan dengan
cahaya yang nyata. Artinya, jangan kita sombong dengan ibadah yang telah kita
jalankan selama bulan puasa. Seakan-akan Tuhan telah menyiapkan segunung pahala
atas ibadah yang telah kita jalankan selama bulan puasa. Seharusnya kita terlebih
dulu memaknai ada apa dibalik ibadah kita itu. Dengan begitu, kita akan
beribadah dengan apa adanya. Tulus dan ikhlas. Sehingga kita bisa merasakan
cahaya yang nyata, bukan cahaya semu.
Kembali fitri bukan seperti yang
dibayangkan kebanyakan orang. Kembali fitri bukanlah kita kembali seperti bayi
yang baru lahir dan tidak berdosa. Itu hanya pemahaman luar saja. Kita harus
memaknai semua ibadah yang telah kita lakukan untuk bisa mencapai fitri. Lalu ibadah
yang bagaimana yang harus kita maknai agar kita bisa kembali fitri? Butuh sebuah
perenungan untuk memaknainya. Setiap orang bebas memaknainya. Asal jangan
sampai kita seperti Bulan di atas
kuburan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar